LORONG KESEPIAN


Dia sendiri. Selalu sendiri. Seperti itu di tiap waktu. Di tiap detik detak jantungnya yang tak pernah bergerak sekalipun. Kemanapun langkah kakinya, begitu pula apapun yang dia lakukan.
“Kau kan selalu sendiri.” Dia selalu menelan rasa kepahitan. Timbul senyum dan tawa palsu yang selalu dia pasang sebagai topeng dalam dirinya.
Hari ini pun, dia berjalan dengan perasaan kebohongannya kepada dunia. Berjalan dengan perasaan tenang, seperti sudah biasa terjadi. Menuju kelasnya tanpa rasa takut yang khawatir. Saat melihat bangku kosong yang penuh dengan gadis-gadis riang. Dia pun duduk, bukan paling belakang. Karena itu milik kesepian. Dia berjalan ke arah bangku depan. Yang sering tertutupi oleh dosen yang killer. Setelah memastikan dia tidak sendiri di deretan bangku panjang, dia tenang. Melihat sekeliling. Seperti pengamat professional. Dia belum bertemu teman-teman lainnya selama seminggu ini. Karena perbedaan kelas yang mereka ambil.
Segerombolan di bahu belakang, orang-orang yang jarang ia lihat. Seperti biasa, “Aku tak peduli”. Ujarnya dalam hati. Matanya menangkap sosok yang belum lama ini mengisi hari-hari kosongnya. “Bah! Lihat saja nanti, tak ada perbedaan diantaranya dengan yang lain.” Pikiranya tak terlalu menanggapinya sehingga perkataan itu tak pernah hinggap di hatinya. Hanya keluar ketika saat-saat tertentu.
Menunggu dosen yang telatan, menyebalkan! Dia sudah berpengalaman dalam mengikuti kelas dosen yang selalu membuat mata pandanya kembali tertutup. Bagaimana tidak? Dengan suaranya yang pelan dan materi yang membosankan, juga orang-orang di kelas itu. Tidak memperbaiki suasana. Melihat lagi ke pintu masuk, ah orang itu. Kembali lagi berpaku pada meja hitam.
“Selamat pagi, anak-anak!” entah sudah berapa detk berlalu, muncul suara tak asing. Berdiri di depan kami. Mulai pembelajaran dengan sangat—lambat. Orang itu terus memberikan pembukaan di awal yang panjang. Pagi yang membosankan, membuatnya terbangun. Tapi tidak sebentar, cukup lama sampai detik-detik di mana kesepian kembali merayapinya.
“Kalau begitu, sebelum mengakhiri pembelajaran di pagi ini, bla-bla-bla… Bagaimana kalau kita membentuk kelompok yang nantinya untuk bekerja sama dalam tugas maupun tugas besar. Dengan jumlah 3-4 orang. Nanti, 2 orang termasuk ketua berhak memilih. Jadi, sekarang pilih ketua masing-masing dan ketuanya juga berhak memilih 1 atau 2 orang. Nanti sisanya biar saya random.”
“Bagus!” otak itu kembali memproses kata-kata selanjutnya yang keluar dari mulutnya yang terkunci rapat. “Random saja Bu dari awal, ah! Tentu tidak mungkin…” toh sekarang semua orang di sebelahnya sibuk memperdebatkan siapa yang jadi ketua. Tak perlu diragukan lagi. Pihak kursi belakang sudah punya aliansi sendiri. Tinggal 2 bangku termasuk deretannya. Dia tak perlu menunggu, hanya perlu melihat.
“Aku sama kamu ya?” kata si Mawar, “Iya, tapi aku udah sama Melati.” Kembali si Mawar melempar pertanyaan pada Wina.  Wina hanya menganggukan kepala, dan “Bentar deh, mendingan kamu sama Melati.”
“Tapi Melati sudah sama Rannah. Dan kita ga mungkin berdua. Soalnya ntar kan di random.” Ujarnya memelas. “Baiklah, sepertinya aku juga tak mungkin berdua sama Rannah.”
“Gini aja, kita berempat berpisah. Kamu ketuanya Mawar. Biar aku ketuanya. Ya?” dengan mantap seperti berkata “Aku ketuanya, Melati.” Melati yang tersenyum hanya berkata ya. Bereka berempat setuju untuk terbagi menjadi dua kelompok karena pikir nanti di random pula. Dengan begitu mereka bisa berempat.
“Baguslah kalau begitu, tinggal menunggu tangan ibu itu bergerak. Dengan begitu aku pun dengan senang hati…mati di tengah-tengah kebisingan ini.”
Begitulah pikirannya kembali berputar. Dan tak perlu waktu lama. Setelah diskusi yang tak pernah dia ikuti. Dia pulang dengan perasaan kosong. Kambuh lagi, saat waktunya ke kelas berikutnya? Tidak. Kali ini dia lebih santai. Mengingat hanya ada 5 jari kecuali si jempol, yang duduk di kelas dosen yang telah dia bantu beberapa semester yang lalu.
Tak ada yang istimewa, semua berjalan lancer tidak seperti biasanya. Kini, tawa meskipun palsu berhasil dia taruh di wajahnya yang bengkak. Sekalipun dia tak merasakannya, tapi hatinya tergerak untuk tak hanya diam di tempat.
Semua berakhir ketika dia kembali ke kandangnya yang berwarna merah. Dengan tubuh yang direbahkan begitu saja. Dia tak bergerak sama sekali, hanya tangan dan matanya yang berlari hingga telinganya lelah. Dan kemudian, semuanya hadir dalam mimpinya. Begitu tiba pagi harinya. Dia merasa tak perlu lagi menyembunyikan topeng pertamanya. Dia hanya perlu berpura-pura menjadi anak kecil. Dan waktu terus berjalan sampai saat tulisan ini di tulis oleh jemarinya yang baru terbangun usai 48 jam terlelap di atas dipan milik orang yang merasa bahagia dengan pulang ke rumahnya.
Dan begitulah tulisan ini hadir. Entah mungkin kelak dia merasa sanggup untuk menulisnya tanpa berpikir 2 kali lagi. Lebih cepat, lebih berperasaan. Seperti pagi ini, si buta yang selalu membangkitkan tubuhnya yang sudah lemah. Dan terus bersembunyi dengan berganti topeng tiap waktu. Itulah dirinya.
***

Pembalasan Di Balas Kematian {2}

Pencarian dan Penyelidikan
...

Dia baru saja akan keluar dari toilet, ketika sesosok. Menggunakan tudung kepala, entah lelaki atau wanita dia masih belum mengamatinya. Seluruh tubuhnya diwarnai dengan pakaian serba gelap. Membuat semakin hitam kacamata yang dikenakannya. Dengan tangan panjangnya. dia berhasil mengenai tubuhnya. Untung bukan bagian yang vital. Dia sempat sadar namun terlambat, karena tubuhnya sudah terlanjur ambruk.

Di tengah hiruk pikuknya musik rock yang memekakkan telinga. Sesosok calon mayat tergeletak begitu saja di belakang pintu kamar mandi wanita. Dia mulai menuliskan garis-garis kematian, yang nanti jika ada yang menemukannya. Entah siapa dia, dia berharap itu akan membantunya menuju sang pelaku yang sebenarnya.

Sedangkan di luar, orang-orang mulai hilang akal sehatnya. Si MC berulang kali membuat seolah-olah suasana semakin panas. Saat itu, tidak ada yang menyadari. Tak kecuali sang detektif yang tak jauh dari tempat lokasi tersebut. Meskipun dia dari tadi sudah menyadari ada yang tidak beres di sini. Entah apa itu. Yang pasti dia harus hanya diam dan mengamati. Siapa tahu, bahwa...

***

“Oi! Di mana dia?” dua orang lelaki bertubuh jangkung. Yang satunya hitam dan yang satunya lumayan putih warna kulitnya. Mereka mendekati seorang lelaki yang kemudian melepas kacamatanya.

“Sungguh! Aku pun juga sedang mencarinya. Apalagi, sudah hampir giliran kita main.” Dia menggeleng tak tahu harus bagaimana. Sedangkan tangannya membawa sebuah buku, bercover coklat tebal.

“Apa itu yang kau bawa?” Cowok itu membolak-balik buku tersebut. “Miliknya kah?” dia hanya mengangguk, mengamati kedua temannya yang juga kebingungan.

Ketika itulah, seorang lelaki datang tak jauh dari tempat mereka berbicang. Dengan raut muka yang kesal, karena permintaannya terlalu lama menunggu.

“Hei, di mana vokalis kita? Sebentar lagi, giliran kita nih. Bukankah dia bersamamu? Di mana dia sekarang?”

“Tadi aku juga lihat dia bareng kamu kan?” desahan keluar dari mulut cowok item manis itu.

“Iya. Tadi, kami sempat ngobrol sebentar. Dia izin ke toilet untuk basuh muka. Dan menitipku ini. Hanya saja, sejak tadi dia belum kembali.” Terangnya dengan gugup. Takut dianggap bohong mungkin.

“Toilet?” tanya cowok berambut gondrong, “Toilet yang di panitia itukah?” ujar si jangkung hitam.

“Wait, wait... Bukankah saat ini ruang kepanitiaan kosong?”  tanya si rambut gondrong.

“Berarti, toilet...”

“Iya, aku juga sudah beritahu dia untuk hati-hati.” Dia mendesah, kali ini lebih lama dan berat, “Ini kesalahanku.” Dia menunduk semakin dalam.

“Baiklah, kalau begitu lebih baik kita cari dulu di sana.” Mereka mengangguk, keempat cowok itu beranjak menuju ruang kepanitiaan. Tak tanggung-tanggung, mereka juga terkejut mengapa si gadis mereka berani kemari sendirian di saat seperti ini sangatlah rawan.

Suasana di ruang kepanitiaan sama saat seperti si gadis itu memasukinya pertama kali. Tapi kali ini, suasana itu tak terasa begitu menyeramkan. Mungkin karena bersama-sama memasukinya. Namun, tetap saja. Ada sesuatu yang lebih penting buat mereka. Dan kini mereka berusaha mencarinya. Apapun resikonya.

Pertama, mereka tak langsung menuju toilet. Meskipun jelas kelihatan, tak ada siapapun di sini. Dan mereka, sempat ragu. Apakah akan memasuki toilet satu-satunya ini? Karena toilet berlabel gentleman itu, di papan pintunya. Tertulis bahwa toilet ini sedang dalam masa perbaikan.

“Eh, masa iya sih toilet ini rusak?” kata si jangkung hitam.

“Iya nih, lalu selama ini ... yang cowok ke mana?” ujar si jangkung putih. “Masa’ iya di sini??” tunjuknya pada toilet ladies.

“Sudahlah, lebih baik kita cari bersama-sama.” Keduanya mengangguk.

“Hei, yakin kita masuk ke sini? Ini toilet cewek lho.”

“Kau lebih baik daripada banci, benarkan?”

“Okay, ayo! Aku juga tak peduli apakah di sana ada gadis.”

“Dan aku tak takut kalau para gadis itu berteriak nanti.”

“Haha, yang benar saja!”

Keempatnya memasuki toilet cewek. Meskipun semua bilik dalam keadaan setengah terbuka. Mereka tetap saja ragu, untuk membukanya.

“Sial! Kemana wanita itu di saat kita membutuhkannya.” Si gondrong mulai ngawur membuka paksa bilik yang tak terkunci itu.

Dan setelah memastikan bahwa tidak ada orang yang mereka cari. Bahkan tiada siapapun di sini. Mereka keluar dengan wajah keringat dingin.

“Bagaimana ini? Dia tak ada di sini.”

“Benar, ada yang punya ide?” semua menggeleng.

Mereka terlihat kebingungan. Tak mungkin mereka maju tanpanya. Apalagi sampai membatalkannya. Memang benar sih, si gondrong vokalis utama. Tapi tetap saja, ini tak bisa diandilkan!

Saat kebingungan melanda mereka, salah satu dari mereka terlihat sedang berpikir keras. “Wait, mungkin dia coba kabur dari kontes ini.” Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Semua menenggok dengan heran. Mana mungkin? Meskipun dia ada sesuatu yang penting. Tak mungkin dia langsung menghilang begitu saja. “Kemudian, dia langsung mengambil mobilnya dan pergi begitu saja.”

“Hei, ini kunci mobilnya lho!” si pembawa buku itu langsung menunjukkan kunci mobil miliknya. “Lagian, mana mungkin. Segawat apapun keadaan di luar sana baginya, dia tetap akan memberitahu kita. Paling tidak lewat telepon. Dan sekarang? Apakah kalian menerima panggilan darinya??” mereka semua menggeleng dan membenarkan omongannya yang terbilang masuk akal.

“Tapi bisa saja, dia kan pandai mencuri. Mungkin mobil itu kini sudah melaju kencang. Lebih baik kita cek dulu di parkiran.” Mereka kali ini juga mengangguk, tanpa menyela. Jalanan menuju parkiran tidak sejauh tapi juga tidak dekat dengan tempat tersebut. Ketika melewati gerombolan orang yang mabuk mengikuti hentakan musik. Tanpa sadar, ada yang mengetahui kegelisahan mereka dan mungkin orang ini sangatlah penasaran. Bisa jadi.

Ketika langkah mereka menyusuri motor, dan melihat mobil merah yang terparkir persis seperti saat pertama datang. Lagi, keheranan menyelimuti bulu kuduk mereka. Ada apa ini sebenarnya? Ke manakah dia?

“Sepertinya, memang sulit.”

“Ya, dugaan kita memang tak pernah setajam dia.”

“Benar, jadi...?”

“So? Lebih baik kita kembali, dan ya menunggu, atau entahlah. Yang penting kita ke sana dulu.”

Belum sempat mereka berbalik arah. Seorang pria menghampiri mereka. Gerak-geriknya tak mencurigakan mereka. Tentu saja, dia salah satu dari penonton yang mungkin merasa bosan. Tidak.

“Ada apa dengan kalian?” mereka semua saling pandang, tak tahu harus bagaimana. “Ku lihat kalian mondar-mandir ga jelas. Harusnya kalian sudah di backstage.” Dia terlihat mencari seseorang lagi. “Ke mana dia?”

Barulah, cair.

Sembari melangkah kembali ke pertunjukkan. Mereka membicarakan apa yang telah terjadi di antara mereka. Sehingga menunda mereka untuk bersiap di belakang panggung.

“Jadi, kalian sudah mencarinya ke mana-mana tapi tetap tak menemukannya?”

“Yap, bahkan kita terpaksa masuk ke toilet cewek.”

“Ya...”

“Dan, kalian tetap tidak menemukannya?”

Sekali lagi mereka mengangguk serentak.

“Apakah kalian yakin?” mereka agak bingung dengan pertanyaannya. Jelas sekali, mereka yakin.

“Dia tak menyamar? Mungkin menjadi penonton, atau bahkan...”

“No, no... Dia memang pintar dalam hal penyamaran. Tapi dia tak seperti itu. Meskipun dia mengubah sedikit penampilannya dari yang tadi. Kami pun masih bisa mengenalnya, iya kan?”

Si kacamata hitam itu mengangguk, “Aku kenal dia.”

“Ya aku tahu itu,” kata si orang baru ini. “Tapi, sudahkah kalian cari di setiap sudut toilet wanita?”

“Tentu saja, kami bahkan sempat takut mendobrak tiap bilik. Kalau-kalau ada gadis di dalamnya.”

“Berarti kalian belum yakin mencarinya.” Mereka jelas tak terima, “Ayo, kita cari lagi! Kali ini jangan sampai ada yang terlewat! Harus teliti, meskipun sekecil apapun ruangan itu. Dan ingat, petunjuk itu penting!” tapi bagaimana lagi, otaknya lebih encer soal analisis di banding mereka.

***

Mereka berlima kembali memasuki ruang panitia. Yang tetap saja terlihat sepi dan berantakan. Tapi, yang lebih mengejutkan adalah...

“Aneh,” ujar si jangkung putih.

“Bukankah tadi toilet ini bermasalah? Kapan di perbaikinya?” timpal si jangkung hitam.

“Hei, kalian yakin?” si dua jangkung ini mengangguk. “Ya, dia yang menyadarinya. Saat itu pertama kali kami kemari. Pintu toilet ini terpampang dengan jelas.”

“Kalau tidak salah, tulisannya ya ‘toilet ini sedang dalam masa perbaikan’, begitu. Benar kan?”

“Benar, dan kalian juga melihatnya bukan?”

“Iya, maka dari itu kami berasumsi bahwa dia ada di toilet wanita ini.” Ujar si gondrong.

“Okay, meskipun ini terdengar aneh. Apalagi meskipun diperbaiki, pertanyaannya... Siapa dan kenapa malam ini?” ujar si orang yang baru bergabung tadi.

“Benar, memang nya ada ya pengawai malam? Apalagi perbaikinya cepat pula. Bukankah kita pergi tak ada satu jam? Benar kan?” kata si hitam manis ini.

“Benar juga, kalau begitu memang sejak awal ada yang aneh! Ayo, kita cari dulu di sini.”
Keempatnya mengikuti si jenius ini namun, “Wait, bagaimana kalau kalian berdua pergi mencarinya juga di toilet pria. Barangkali, tadi itu hanya untuk menutupi sebuah fakta bahwa...”

“Baiklah, kami akan mencarinya.” Mereka dibagi menjadi dua, si gondrong dan hitam manis memasuki toilet wanita. Dan jangan lupa dengan si baru tadi. Sisanya, para jangkung itu masuk ke toilet pria. Yang mereka pikir ini jelas tak mungkin gadis itu masuk ke sini.

“Di sini tak ada dia!” teriak salah satu dari mereka, meskipun yang satunya tetap membuka tiap bilik meskipun itu mustahil. Karena bilik di toilet pria hanya satu. Beda dengan yang di sebelahnya.

Mereka juga sama, sama sekali tak menemukannya. Bahkan tiap bilik itu kosong tiada gadis seperti yang mereka pikirkan. Memang siapa yang akan berani ke sana sendirian?

“Kami juga tak menemukannya, di sini!” si rambut gondrong terlanjur berkata. Ketika tiba-tiba, suara temannya membuatnya berpaling.

“Tunggu sebentar! Apa ini?” orang baru tadi segera menghampiri si hitam manis yang berjongkok. Hampir mengenai tembok. Bukan, persisnya di belakang pintu dekat westafel.

Sebuah bercak merah, yang tak beraturan. Tepat mengenai dinding tembok bercat putih. Orang baru tadi kemudia mencolek sedikit, dan diarahkannya ke hidung. Setelah beberapa detik, yakin dengan penciumannya. Di tambah sebelumnya dia merasakan bentuk cairan itu.

Terkejut, dia berdiri membuat semuanya tegang dan berdiri. Begitu juga dengan si dua jangkung yang ikut bergabung, setelah mendengar suara temannya. Mata si orang baru ini membulat. Seolah-olah masih tidak yakin dengan apa yang dia temukan.

“Ini masih baru.” Ujarnya gemetaran dan terdengar dingin. Seolah-olah aksen Indonesianya bercampur kental.

“Apa yang kau maksud, itu... darah?” tanya si hitam manis dengan hati-hati. Sedangkan dia, hanya mengangguk mantap.

Jelas, wajah mereka terkejut bukan main. Tidak mungkin. “Tapi ini aneh.” Mereka sedikit melepas keterkejutan itu. “Sebentar, ke mana sebenarnya arah ini? Kenapa bentuknya seperti sengaja di buat? Atau...” dia berpaling ke arah dua orang yang tadi diminta mencari di toilet pria.

Mereka menegang, takut ada yang salah dengan mereka. Keduanya hanya diam dan mencoba menunduk. Tapi tetap saja, tidak bisa.

“Apakah kalian yakin, di sana tidak ada apa-apa?”

Kini, keduanya di landa kebingungan. Mengangguk secepat mungkin dan terdengar kurang menyakinkan. Segera, pria ini berlari ke arah toilet pria.

Mereka berempat keluar dari toilet wanita itu. Jelas dengan wajah yang ketakutan. Mengikuti si pria ini. Terlihat dia sedang berjongkok tak jauh dari pintu toilet, di sebuah bilik paling ujung. Sebelum keempatnya melihat apa yang dia lakukan, dia segera keluar dari bilik itu. Dan melihat ke arah atas, tepatnya lampu yang kalau kita amati. Bentuknya aneh, lampu itu tak seharusnya hidup atau mati. Tapi...

“Kalau dugaanku benar,..” kemudian dia segera berlari kembali ke tempat semula. Sedetik kemudian, dia sudah menyuruh keempatnya.

“Kalian coba temukan tempat sampah atau apapun itu, yang untuk menyembunyikan barang buktinya” dengan ketakutan mereka berempat berpencar, “Kecuali kau! Ya, kau. Kemarilah.” Si kacamata hitam ini masuk bersama lagi ke dalam toilet wanita.

“Apa tadi kau tidak melihat adanya bercak darah ini?” dia menggeleng.

“Bahkan aku juga mengecek di bawah kolong wastafel. Tak mungkin aku melewatkannya. Tapi tadi benar-benar bersih, tak satupun noda yang tertinggal di sini.” Dia hanya menatap tajam dinding yang kini berlumuran darah segar itu.

“Sebenarnya, apa yang terjadi?” kekhawatiran terbaca dengan jelas di raut mukanya. “Kalau dugaanku benar, dia sempat ditikam di sini. Kelihatan dengan tetes yang mulai hilang di lantai ini.” Terkejut, dia hanya diam. “Tapi yang aku tak mengerti, apa ini? Darah yang mengalir menuju bawah wastafel. Dan percikan darah di sekitar tembok ini. Seolah-olah benda tajam itu benar-benar menembus tulang ekor belakangnya.”

“Bagaimana kau tahu, kalau yang tertembus bagian itu?”

Dia terlihat ragu, “Ya, aku masih belum yakin. Apakah itu akibat benturan kepala. Tapi anehnya, darahnya bukannya ke bawah tapi justru ke atas. Kau merasakannya juga bukan?”

“Yang benar saja! Aku juga merasa ada yang aneh dengan goresan darah yang menjulur ke atas ini.” Dia menunggu cemas, “Siapa yang paling tinggi di sini?” tanyanya.

Sebelum si hitam manis ini berkata, orang yang di maksud sudah muncul duluan. “Aku menemukan ini!” sebuah kertas yang sudah robek sana sini, terlihat di baliknya sebuah tulisan. Kelihatannya masih bisa di baca, “Ya, ini salah satu bukti bahwa kerusakan toilet itu adalah untuk menyembunyikan sesuatu di baliknya.” Si jangkung hitam itu mengangguk, “Kau bisa memanjat?” eh.

“Aku?” dia mengangguk dan menunjuk dinding yang memisahkan antara toilet pria dan wanita. “Umm, aku tidak yakin. Tapi kalau ada kursi atau pijakan mungkin kepalaku sedikit bisa melihatnya.”

“Ini,” si hitam manis yang lebih dulu diminta untuk mempersiapkannya, segera memberikan kursi yang tertanam di ruang panitia itu. “Baiklah, hati-hati.”
“Okay,” begitu si jangkung hitam ini melonggok. Dia sangat terkejut,”A...apa, ini?”

Si pria genius ini tersenyum, “Kau temukan dua garis yang berdempetan seolah itu adalah bekas tali, benar?” si jangkung hanya mengangguk, perlahan turun.

“Mana yang lain?” tanya si hitam manis, “Entah, mereka tak temukan apapun.”

“Maaf, sepertinya hanya kertas itu saja yang bisa kami temukan.” Seketika itu keduanya kembali. “Tidak, kalian. Carilah beberapa benda, tali sepanjang 2 meter. Tongkat besi atau sejenisnya, yang bisa untuk menyangga, dan ember. Serta kalau ada, bebatuan juga. Ohya, cermin dan air cuka serta lap berwarna putih.”

“Untuk apa?” tanya si jangkung putih, “Laksanakan saja, bodoh! Ayo.” Ajak si jangkung hitam. “Kau, si tinggi, tetap di sini.” Eh, dia menoleh dan membiarkan ketiga temannya mencari barang yang diminta si genius ini.

“Apakah kau yakin, sudah memeriksa bilik yang paling pojok di toilet pria?”

“Iya, memangnya ada apa? Kami belum mengecek lagi setelah kau peringatkan untuk tidak menghampirinya sejenak.”

“Akan kutunjukkan, bukti bahwa ini adalah penggelabuan mata.”

“Penggelabuan mata?”

“Ya, kemari.”

Lalu, mereka berdua berpindah menuju toilet pria. Ketika memasuki bilik yang paling pojok. Si jangkung hitam ini sangat terkejut. Bagaimana mungkin? Ini bisa muncul tiba-tiba? Darah yang menempel pada kloset duduk. Yang tadinya bersih mengkilat seolah tak ada apa-apa. Sekarang semuanya bahkan sampai lantainya bersimpah darah.

“A, a... apa yang sudah terjadi di sini?”

“Aku akan jelaskan nanti, setelah mereka temukan bendanya.”

“Oh my god...” ujarnya lemas, berharap tak ada yang terjadi.

Kini, ketiganya telah kembali. Sembari membawa benda-benda yang diminta si genius ini. Sebelumnya mereka telah diberitahu oleh si jangkung hitam untuk menemui di toilet pria. Dan ketika mereka melihat isi di balik bilik paling pojok itu. Tak jauh berbeda dengan respon si jangkung hitam.

“Bukankah, tadi... aku, aku benar-benar tak melihatnya! Sungguh!”

“Kalau kau tak percaya, kau bisa tanyakan...”

“Ya, ya aku tahu... Itulah yang kumaksud. Kalian semua tertipu. Lihatlah pintu ini. Dia sangat rentan untuk di dobrak. Itu kenapa aku menyuruh kalian mencari ember berisi batu dan tongkat besi atau semacamnya. Dan juga air cuka serta cermin dan lap putih.”

“Aku tahu, jadi tali ini untuk menjerat dan menariknya menuju toilet ini?”

“Yep,”

“Kemudian,...” sebelum si kacamata hitam ini melanjutkannya, “Wait, bagaimana dengan caranya dia menariknya? Apakah dia lelaki? Karena kalau perempuan jelas tak mungkin.”

“Kau benar, tapi bagaimana kalau sebelumnya itu sudah diatur sedemikian rupa sehingga tanpa susah payah. Calon si mayat ini meluncur begitu saja melewati tali yang telah terpasang di atas tembok. Dan tiba di closet ini yang tertutup begitu sempurna. Hmm?”

“Kami masih belum mengerti. Terutama soal darah. Bagaimana mungkin itu bisa muncul begitu saja? Padahal kami sudah mencarinya bahkan dua kali!”

“Ya, itu efek air cuka dan cermin yang terlihat seolah kembali putih. Serta jangan lupakan lap berwarna putih. Untuk memanipulasi bahwa tiada noda yang tersisa di sekitar. Bahkan, pada closet ini dan lantai ini. Kecuali kalau tongkat besi itu ternyata adalah kain lap lantai.”

“Yang benar saja! Aku mengerti! Kemungkinan, pelakukanya adalah cewek dengan tubuh tinggi setinggi kau, tapi tidak dengan dirimu. Dan kemungkinan dia ahli dalam menyamar atau fisikawan.” Timpal si rambut gondrong.

“Salah! Kau benar soalnya jenis kelamin dan tinggi badan. Tapi kau keliru kalau lihat dari situ. Coba perhatikan? Semua ini tidak butuh ilmu. Hanya butuh pengamatan. Dia tahu korbannya menyukai semua jenis tantangan. Termasuk misteri. Dan dia mencoba mengaplikasikannya.” Terang si jenius.

“Okay, pokoknya. Sekarang kita harus tahu, di mana dia?? Harusnya kalau sudah begini dia takkan bisa bergerak. Tapi, kemana perginya? Seolah-olah dia melayang begitu saja.” Kali ini si jangkung putih yang angkat bicara.

“Kalau itu, aku belum pasti. Lebih baik, kita keluar dulu dari sini. Aku takut dia masih di sini, mungkin sekarang sedang mengamati apa yang kita lakukan.”

Mereka semua mengangguk dan segera keluar secara terpisah. Meski itu berarti konser mereka harus ditunda.

“Urusan ke mana dia pergi, itu kalian. Aku hanya membantunya. Tapi kemungkinan, masih ada satu petunjuk lagi. Jadi, kalian pergilah. Jangan sampai terlihat oleh siapapun. Kalau bisa, kalian harus sembunyikan benda berharga miliknya. Aku rasa, itulah yang dia cari. Karena aku lihat ada beberapa titik di mana harusnya itu adalah pecahan dari barang miliknya yang dia bawa saat kejadian itu. Cepat pergilah!”

“Baik!”

...

Bersambung,

Pembalasan Di Balas Kematian {1}

Terjatuhnya Sang Bintang

"I'm not afraid, I'm not afraid | To take a stand, It's been a ride | Everybody, I guess I had to | go to that place | to get to this one | Now some of you | Might still be in the place | If you're tryin' to get out | Just follow me | I'll get you there,

You can try and read my lyrics off of this paper before I lay 'em | But you won't take this sting out these words before I say 'em | 'Cause ain't no way I'm a let you stop me from causin' mayhem ..."

Lagu rap milik King of Rap Eminem itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Meskipun dia seorang wanita, namun para penonton bersorak seolah-olah dia adalah anak dari Sang Rapper tersebut. Namun, meskipun banyak yang membencinya. Dia tetap menyanyi. Termasuk teman satu band nya, mungkin tidak suka jika wanita yang dia cintai justru berubah menjadi sosok terkenal karena kelakiannya.

Sorakan semakin ramai, ketika lagu yang menjadi favorit remaja tahun itu mengenai musik rap, yang mulai merajai industri musik dunia. Lagi-lagi milik Sang Rapper, King Eminem itu - "Lose Yourself". Dari yang meloncat sampai membuat lingkaran, bahkan ada yang memutar-mutar bajunya seakan itu adalah bendera.

Gadis berambut hitam sebahu ini turun, menyapa para sahabatnya. Senyumnya bahkan tidak pernah hilang. Ketika itu, menemui seorang--salah satu teman lamanya yang hadir malam itu. Mengenakan topi fedora dan jas yang tak layak digunakan untuk festival seperti itu.

"Hei--kau datang juga, aku tak menyangka." mereka berpelukan, seolah-olah itu sudah hal yang biasa mereka lakukan. "Apa kabarmu?" gadis itu tersenyum nakal, "Harusnya kau tahu, di sana orang-orang mulai gila, dan membuatku ingin segera turun." Dia tidak tertawa, hanya mengacak rambutnya. "Kemana saja kau? Apakah ada kemajuan dengan otakmu?" Dia menggeleng, mereka pindah ke tempat sepi.

"Entahlah, semakin banyak kasus yang kupecahkan. Justru otak ini seakan terhambat dengan lagu-lagu yang kau nyanyikan itu." Si gadis hanya tertawa, "Bagaimana, kau sudah baca buku itu?" Dia menunjukkan sebuah buku agak tebal, bercover coklat dengan tulisan yang tak bisa di baca. "Aku tak sanggup untuk membacanya. Mungkin nanti setelah bertanding dengan mereka." Lelaki itu hanya tersenyum dan meninggalkannya tanpa pamit. Gadis itu sudah tahu, hanya saja. Dia tak beranjak pergi dari duduknya.

Membuka halaman demi halaman, tiap kali di buka pikirannya tak bisa berhenti menerjemah apa isi sebenarnya dalam buku itu. Tak banyak yang tahu, dan mungkin dia salah satunya. Tak bisa menangkap apa maksud seorang menulis begitu hal yang sangat asing baginya. Namun, ada satu hal yang takkan kuceritakan mengenai apakah buku tersebut mampu dia baca.

***

Malam semakin beranjak, namun arena yang menjadi ajang festival musik itu terus ramai. Justru semakin larut, banyak yang datang entah hanya mampir atau sekedar menonton dan bertemu dengan musisi lokal. Tak hanya itu, stan yang tadi kosong kini penuh dengan penjual makanan malam. Di saat yang lain asyik berjingkrak. Seseorang ditepian duduk sendiri. Di tengah orang-orang yang bersorak. Namun, pikirannya tidak terganggu. Fokus pada apa yang dia baca. Ketika sedang berpikir, sesosok menghampirinya. Membuatnya terkejut.

"Daritadi kerjaannya hanya duduk dan membaca buku, belum selesai ya?" dia mendongak ke atas, mengetahui siapa yang mengajaknya berbicara, dia mengeser tempat duduknya. Cukup untuknya, "Apa sih yang kau baca?" penasaran, dia menengok ke arah lebih dalam, agar terkena cahaya bulan, gadis tadi mengarahkannya persis di depan matanya.

"Heii-heii, aku justru tak bisa melihat," geramnya kesal, "Hahaha, maaf-maaf..." mereka bercanda selayaknya teman biasa. Namun, sebuah lirikan tajam jauh memandang mereka. Tidak, dia tidak membencinya. Hanya saja, kenapa bukan dia? Yang bebas bersendau gurau. "Aku duluan ya, sepertinya sudah giliranku." dia beranjak dan itu membuatnya lega, "Ohya, mereka jelas membutuhkanmu. Silakan."

Gadis ini berjalan. Tepat menuju si dia. Yang sedari awal hanya duduk mengamati jalurnya pertunjukkan musik ini. "Bosen ya?" tanyanya tanpa segera mempersilakan si gadis duduk. Dia hanya tersenyum dan mengangguk. "Boleh aku duduk?" tanyanya tanpa basa-basi. "Boleh kok, boleh, sini..."

"Sedang baca buku apa sih? Daritadi aku lihat kamu, cuma itu doank yang kau pegang." gadis itu jelas terkejut. Sejak kapan cowok ini memperhatikannya. Tidak biasanya. "Hanya novel biasa," dia mengangguk dan gadis itu melanjutkan membacanya. Tanpa sadar, mata pandanya memaksanya untuk menguap.

"Ngantuk ya?" mau bagaimana lagi, ini sudah ngaret 2 jam seharusnya giliran dia dan band nya yang manggung. Entah sampai kapan musik ini akan berhenti. "Iya, hehee..." si cowok dengan lembut menarik kepalanya, untuk bersandar di bahunya. Gadis ini bukan terkejut lagi, tapi hampir terjatuh, hatinya...

"Gapapa, udah tidur aja dulu, ntar gue bangunin." dia menelan ludah, agak malu juga sih, masalahnya ini di tempat umum. Ya, mereka memang sedang tidak menyadarinya. Namun, bagaimana kalau tiba-tiba pandangan mereka terhenti pada - keduanya?? "Tenang aja, jalan acaranya masih panjang." dia hanya mengangguk, dan melenyapkan pandangannya. 

***

"Hei, bangun..." gadis itu hanya mengeliat sekali. Ketika bukunya hampir terjatuh dari pangkuannya. Segera cowok itu menangkapnya, sebelum benar-benar mengenai tanah. Jelas sekali benda berharga milik gadis itu, dia tak mau mengotorinya. "Baiklah, apakah sebentar lagi giliran kita?"

"Hmm... ya ku rasa," dia memutar bola matanya. "Pegang dulu, aku akan kembali." dia baru saja akan beranjak. Ketika tangannya ditarik perlahan. "Aku pergi ke toilet bentar, okay?" dia tersenyum, "Baiklah. Hati-hati. Aku rasa, pihak panitia sedang di luar semua. Jadi di sana kemungkinan kosong." dia mengangguk, "Ya aku mengerti."

Ruang panitia yang tadinya ramai, terlihat penuh sampah dan rokok yang telah mati apinya. Dia berjalan cepat menuju kamar mandi. Berlabel 'ladies'  tentunya. Ketika memasukinya, dia tak merasakan apapun. Kecuali hawa kantuk yang semakin menjadi. Dan seperti biasa, bau khas toilet. Meskipun ini salah satu bagian dari toilet di restaurant. Tetap saja kesannya menjijikan. Dia segera keluar dari bilik salah satu kamar mandi yang memang kosong semua.

Ketika gadis itu sedang mencuci tangan dan sebagian wajahnya, dia merasa segar namun... sebuah perasaan atau lebih tepatnya firasat yang tidak mengenakkan menghampirinya. Dia tahu ini bukan saatnya, jadi dia menepisnya.Sebelum beranjak dari cermin kamar mandi. Dia sekali lagi mengecek kerapiannya. Dari mulai kaos hitam dan celana denim hitam serta sepatu hitam. Cocok semua! Tapi, ketika dia berbalik.

Tiba-tiba, sesosok entah dari mana datangnya. Tiba-tiba menyergapnya. Dia yang tidak siap langsung terjungkal. Ke tembok hingga tulangnya membentur ke belakang. Terkejut, belum sempat dia melayangkan tinjunya. Pisau maut itu telah menembus tubuhnya. Darah memuncrat kemana-mana. Segera orang itu berlari meninggalkannya. Terpana karena seluruh bajunya terkena darahnya, bahkan sakit yang merajalela membuatnya hampir tak bisa bernapas.

Dia tak tahu, apa yang sedang terjadi. Mengapa ini bisa terjadi. Padanya?? Dan siapa tadi? Tiba-tiba punya hak untuk masuk ke ruang khusus panitia. Bodoh! Kemana mereka perginya? Di saat ini justru inilah kesempatan yang sangat besar. Bagi siapa pun yang berbuat hal di luar dugaan. Sembari memegangi perutnya yang terluka. Dia terus berpikir, bagaimana ini? Dan di sana, pasti mereka telah menunggunya. Oh, shit! Perlahan, mata itu menutup kantungnya. Dan tubuhnya ambruk seketika. Bersamaan musik yang terus menggelegar wisata festival musik malam itu. Tanpa ada yang menyadari, pembunuhan baru saja terjadi.

...

Bersambung,